Bagaimana cara menangani berita hoax?

Masih segar di dalam ingatan bagaimana kabar “orang gila merupakan penculik anak” tersebar di masyarakat. Banyak orang yang benar-benar mengalami gangguan mental menjadi korban main hakim sendiri dari masyarakat yang percaya kebenaran berita tersebut. Masalahnya beberapa dari mereka bahkan meninggal dunia akibat dipukuli dan ditendang oleh warga sekitar.

Kemudian, ada lagi berita yang memberikan tips untuk para pengguna produk IOS, bahwa produknya bisa melakukan charge lewat microwave apablila mengupdate sistem operasi ke IOS 8 (link). Berita ini menyebar dengan cepat di berbagai sosial media. Banyak sekali orang yang mencoba untuk melakukan tips ini walaupun belum tentu kebenarannya. Sayangnya tips tersebut hanya mengakibatkan handphone mereka rusak terbakar dan tidak bisa dipakai kembali.

Ada juga berita yang mengakibatkan perpecahan dua kelompok masyarakat. Apalagi bila bukan isu ojek online dan supir angkot yang kita ketahui bersama sedang saling bersaing di jalanan untuk mendapatkan penumpang. Ternyata, informasi-informasi yang menyebabkan terjadinya bentrokan yang diterima oleh kedua belah pihak hanyalah berita hoax semata (link). Siapa yang rugi disini? Tentu saja kedua belah pihak mengalami kerugian dari rusaknya motor dan angkot akibat kekerasan. Sedangkan, penyebar hoax hanya duduk di kursi rumah, mengetahui bentrokan yang terjadi dari berita yang disiarkan di layar kaca

Kita semua harusnya sadar, bahwa kita berada di dalam era di mana informasi bukan lagi kita yang mencari akan tetapi sang informasilah yang mendatangi kita. Beberapa orang kelebihan muatan dengan informasi; banyak yang tidak bisa melakukan penyaringan akan mana berita yang benar dan mana yang bukan. Di mana-mana, orang merindukan untuk mengekspresikan diri secara bebas dan berpartisipasi aktif dalam proses perubahan sosial, pemerintahan, pertukaran budaya dan lainnya. Secara universal, sebenarnya ada rasa haus yang dalam untuk memahami dunia yang kompleks di sekitar kita.

Akan tetapi rasa haus ini lebih bersifat emosional dibandingkan dengan rasional, melihat  banyaknya masyarakat yang masih percaya akan berita palsu/hoax yang tersebar di luar sana. Bila kita melihat dari sudut pandang psikologis wajar adanya bila masyarakat khawatir dengan berita “orang gila merupakan penculik anak” diatas. Banyaknya kejadian kekerasan diluar sana, menyebabkan orangtua atau kerabat terdekat lebih meningkatkan kewaspadaannya; lebih baik percaya dengan semua kabar/berita dibandingkan kecolongan kehilangan anak.

Terdapat juga kalangan yang tidak lagi percaya dengan media massa, terdapat beberapa orang memilih berita yang tersebar dari mulut ke mulut karena percaya bahwa beberapa dari media massa sudah tidak lagi menyebarkan berita yang benar. Mereka percaya bahwa berita di media massa selalu ditambahi oleh bumbu-bumbu michin agar orang tertarik untuk membaca atau menontonnya.

Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya kita dapat memperbaiki ini semua? Karena banyak dari berita hoax yang tersebar di luar sana menyebabkan kerugian-kerugian, dan kerugian yang paling parah adalah hilangnya nyawa seseorang. Dari pihak pemerintah Indonesia sendiri sudah dilakukan beberapa upaya dalam menangani penyebaran berita hoax, salah satunya adalah revisi UU ITE yang berlaku saat ini tidak hanya menjerat pembuat berita hoax akan tetapi juga  “penyebar” berita hoax (link).

Apakah langkah yang dilakukan oleh pemerintah akan efektif? Mungkin hanya 30% kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut akan berjalan efektif. Karena, untuk mengurangi penyebaran berita hoax kita juga membutuhkan bantuan dari sektor swasta, seperti Google dan Facebook sebagai media atau tempat dari banyaknya konten-konten hoax ditemukan. Seperti kita ketahui, kedua platform tersebut merupakan platform yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Namun, belum ada langkah nyata yang serius untuk memerangi penyebaran berita hoax yang semakin merajalela ini dari kedua platform besar tersebut (link).

Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara sendiri sudah melakukan pertemuan dengan perwakilan Facebook wilayah Asia Pasifik. Beliau ingin adanya rencana nyata dari pihak Facebook dalam memerangi isu hoax (link). Ini mungkin salah satu akar dari penyelesaian masalah hoax yang sulit untuk diatasi saat ini. Diperlukan kerjasama dari banyak pihak untuk penyelesaian kasus ini, walaupun hilangnya berita hoax mungkin tidak akan pernah terjadi, tapi ada baiknya bila kita semua saling bekerja sama untuk menguranginya.

Untuk benar-benar mengurangi penyebaran berita hoax juga diperlukan seuatu pendekatan holistik dengan masyarakat. Harus ada sebuah pelatihan untuk masyarakat, dimana mereka dapat mempelajari bagaimana melihat berita palsu itu sendiri. Mungkin ada baiknya bila pemerintah mulai memasukkan pendidikan di bidang media dan literasi informasi ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah.

Banyak orang, khsusunya anak muda yang butuh dasar-dasar bagaimana cara untuk menggunakan akses terhadap informasi dan pengetahuan yang tidak terbatas, kebebasan berekspresi, kesetaraan gender, dan standar pendidikan yang tinggi dalam kerangka kerja yang sehat. Kita membutuhkan pendidikan yang dapat menggambarkan keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk memahami fungsi media dan penyedia informasi lainnya di masyarakat di berbagai format media, khsususnya di dalam dunia maya.

Setiap negara di dunia, harus mulai mengambil langkah-langkah yang dapat membantu mengurangi penyebaran berita hoax ini. Dan pengambilan langkah ini harus dilakukan secara bersama, melibatkan semua pihak di dalam masyarakat. Karena kemajuan masyarakat di dalam bidang kesehatan, pendidikan dan lain-lain itu tergantung pada pengembangan ilmu yang berdasarkan fakta. Fakta itulah yang menjadi sumber harapan masa depan kita semua.

Published by

Ratnakanya Hadyani

Kanya is Communication Officer for Tulodo. She hopes to tell stories that hopeful and thought provoking within complex situation created by behavior change and innovation.

Leave a Reply