Kenali 4 Tanda Anak Mengalami Stress Pasca Bencana
Di sepanjang tahun 2018, beberapa daerah di Indonesia mengalami bencana alam. Salah satu yang menjadi sorotan adalah gempa bumi dan tsunami di daerah Palu dan Lombok. Dalam bencana alam tersebut, tercatat lebih dari 3000 orang kehilangan nyawa, 10.000 lainnya mengalami luka-luka dan lebih dari 200.000 orang terpaksa kehilangan rumahnya dan menjadi terlantar. Ratusan sekolah rusak dan anak-anak mengalami trauma.
Tahun 2019 lalu, Tulodo diberi kepercayaan oleh UNICEF untuk mendesain sebuah program kampanye komunikasi perubahan perilaku untuk membantu anak-anak yang terkena dampak bencana di Lombok dan Palu, kampanye yang Tulodo lakukan dibuat dalam bentuk program siaran radio dan konten di media sosial yang menyasar orang tua.
Melibatkan pendapat dan pengalaman dari responden sebagai proses dalam mendesain program (Sumber : Dokumen pribadi)
Mungkin pembaca bertanya, kenapa pada beberapa kejadian bencana, anak menjadi salah satu kelompok yang diprioritaskan? Jawabannya adalah karena anak merupakan kelompok yang rentan, salah satu artikel Centers for Disease Control and Prevention menjelaskan mengenai mengapa anak menjadi kelompok rentan pasca bencana, yaitu:
- Belum sepenuhnya memahami situasi yang sedang terjadi pasca bencana.
- Merasa belum mampu dalam mengontrol situasi pasca bencana.
- Belum memiliki pengalaman dalam menghadapi situasi yang dapat membuat stres.
- Cenderung tidak mampu mengkomunikasikan perasaaan mereka seperti ketakutan ataupun kecemasan.
Bahkan, seperti yang dijelaskan Ehrenreich dalam Coping With Disasters A Guidebook to Psychosocial Intervention bahwa anak-anak justru mengalami efek ganda dengan kejadian bencana. Yang pertama adalah efek langsung, dimana anak-anak mengalami sendiri bagaimana mereka kehilangan anggota keluarga atau teman, terluka karena bencana, tidak bisa pergi ke sekolah atau bermain. Sedangkan yang kedua adalah efek tidak langsung, dimana mereka mengalaminya dari orang-orang dewasa di sekitar mereka, termasuk dari reaksi orang tua mereka terhadap bencana.
Berdasarkan sumber yang sama, disebutkan tanda-tanda anak yang mengalami stress. Beberapa perilaku yang sama diungkapkan juga oleh orang tua di daerah Palu, Sigi dan Donggala, seperti berikut :
- Ketakutan. Rasa takut yang dialami anak-anak muncul dalam berbagai bentuk seperti sering bermimpi buruk, atau fobia (rasa takut berlebih) terhadap sesuatu yang spesifik berkaitan dengan bencana. Hal serupa diceritakan juga oleh responden kami di Petobo, “(anak saya) pas dengar guntur semuanya langsung di ketiak mamanya. Karena takut sekali, itu suara guntur mirip dengan suara gemuruh pertama likuifaksi.”
- Regresi. Merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan usianya, atau kekanak-kanakan. Contohnya seperti anak jadi sering mengompol, ingin selalu dekat dan tidak mau ditingal (clingy), rasa cemas yang tinggi jika berpisah dengan orang tua. Cerita responden dari Sigi dapat menjadi contoh perilaku ini, “Kalau saya anak lebih dekat, sekolah saja harus dijaga. Jadi cengeng dia, apa – apa harus ditemani.”
- Keluhan somatik. Jika anak mengeluh sering merasa sakit kepala, gangguan pencernaan, ataupun sakit lainnya tanpa penyebab yang jelas, bisa jadi hal tersebut merupakan keluhan somatik.
- Merasa kehilangan masa depan. Hal ini bisa dilihat jika anak menceritakan atau mengeluhkan kondisi saat ini. Beberapa orang tua menceritakan hal yang sama, bahwa beberapa kali anak mereka bertanya mengenai apakah mereka bisa kembali hidup normal, seperti kembali bersekolah atau memiliki rumah lagi. “Kalau anak saya seringkali, bahkan tiap hari mengeluh ingin sekolah dan bertemu teman-temannya lagi.” “Anak saya pernah bilang, ‘pak kapan kita bisa bikin rumah kayak dulu lagi?’
Lalu apa sebaiknya yang harus dilakukan orang tua pada situasi sulit seperti itu? Tunggu ulasannya di artikel selanjutnya!
Editor: Ratnakanya Hadyani