Meniru Filosofi Jepang dalam Menghargai dan Memaknai Barang

Orang-orang Jepang memiliki teknik untuk menggunakan kembali barang yang rusak. Teknik ini dikenal dengan nama boro dan kintsukuroi,  sedangkan konsep kesederhanaan di baliknya dikenal dengan istilah mottainai dan wabi-sabi.

Boro adalah jenis kain yang ditambal dengan kain lain dengan cara disulam (sashiko). Sebelum abad ke-20, sebagian besar warga Jepang masih miskin dan kain katun adalah sesuatu yang mahal sehingga ketika rusak, orang-orang menambal kain tersebut. Kain yang berwujud pakaian atau selimut itu terus diperbaiki secara turun-temurun.

sashikodenim1-1220x920Celana denim yang diperbaiki dengan sulaman sashiko. Foto: https://honestlywtf.com/ 
il_fullxfull.1746986114_gq0wKemeja dengan kain boro (dari brand Sasaki-Yoshinten milik Mitsugu Sasaki). Foto: Etsy.com
taschen©-domaine-de-boisbuchetTas boro (dari pameran Boro – The Fabric of Life tahun 2013, diselenggarakan oleh CIRECA dari koleksi milik Stephen Szczepanek). Foto: http://www.boisbuchet.org/

Selain boro, Jepang juga terkenal dengan teknik kintsukuroi (perbaikan dengan emas). Teknik yang juga dikenal dengan nama kintsugi (sambungan emas) ini adalah teknik reparasi keramik atau tembikar menggunakan emas. Sebuah teori menyatakan bahwa kintsukuroi berawal ketika seorang shogun mengembalikan peralatan minum teh yang ia beli di Tiongkok untuk diperbaiki karena pecah.

Peralatan minum teh itu diperbaiki dengan kawat logam yang jelek. Hal ini kemudian mendorong perajin untuk mencari cara yang lebih baik untuk memperbaiki keramik. Yang menarik dari kintsukuroi adalah bagian yang rusak tidak disembunyikan tetapi malah ditonjolkan.

kintsugi-bowl-honurushi-number-32Cangkir minum teh yang diperbaiki dengan emas. Foto: https://www.theschooloflife.com/

Baik kintsukuroi maupun boro adalah bentuk ekspresi mottainai, istilah yang memiliki makna jangan menyia-nyiakan sesuatu (sumber daya, bakat, ataupun waktu). Anak-anak di Jepang akan dimarahi jika tidak menghabiskan makanan mereka karena itu artinya mereka menyia-nyiakan waktu, sumber daya, dan tenaga para petani.

Selain itu, boro dan kintsukuroi juga merupakan bentuk keindahan dalam ketidaksempurnaan atau wabi-sabi. Menurut buku Wabi-sabi Simple karangan Richard Powell, wabi-sabi dapat dimaknai sebagai cara hidup   untuk menghargai serta menerima kerumitan dan kesederhanaan di saat yang bersamaan. Wabi-sabi menjunjung keaslian segala sesuatu dengan memahami tiga realitas sederhana: tidak ada yang abadi, tidak ada yang tuntas, dan tidak ada yang sempurna.

Melalui boro, kita menerima kenyataan bahwa selembar kain lama-kelamaan menjadi usang tetapi bukan berarti kain itu tidak bisa digunakan lagi. Melalui kintsukuroi, kita memahami bahwa keramik memang mudah pecah tetapi bukan berarti keramik yang sudah pecah tidak bisa terlihat cantik lagi.

Dalam praktik pada kehidupan sehari-hari, seringkali kita tidak berpikir ulang ketika mengganti barang lama dengan yang baru. Bahkan mungkin kita tidak tahu di mana barang itu akan berakhir ketika kita membuangnya. Entah di TPA, di laut, atau dibakar dan mengotori udara.

Sebelum membeli barang baru, alangkah baiknya kita melihat lagi barang yang sudah kita miliki. Bisakah kita  memperbaikinya seperti yang dilakukan orang-orang Jepang?


Editor: Yani Lauwoie

Published by

Regina Dyani

Product Designer who focuses on sustainability and social design

Leave a Reply