Menguak Penyebab Pernikahan Anak di Bone, Sulawesi Selatan

Ibu dan anak laki-lakinya di Welado, Ajangale – Bone, Sulawesi Selatan

Artikel ini ditulis oleh Ratnakanya Hadyani (Communication Officer), Ridwan (Project Officer – Bone) dan Heribertus Wibowo (Program Manager)

Pernikahan anak merupakan fenomena sosial yang santer terjadi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk salah satunya adalah Bone, Sulawesi Selatan. Mengapa pernikahan anak bisa terjadi walaupun sudah terdapat hukum yang jelas tentang batas umur pernikahan anak? Apa keuntungan yang didapat apabila kita sama-sama mencegah pernikahan pada anak?

Menurut data dari Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2016 penyebab utama pernikahan anak terdiri dari tiga faktor, yaitu tingkat ekonomi keluarga yang rendah, anak tinggal di daerah pedesaan dan tingkat pendidikan yang rendah. Menurut data dari UNICEF, Indonesia merupakan negara tertinggi ke-8 dalam pernikahan anak dengan jumlah sebanyak 1,459,000 kasus. Selain itu satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia sudah menikah sebelum usianya mencapai 18 tahun (SUSENAS 2016).

Tulodo ditunjuk oleh UNICEF Indonesia dalam mendukung program pernikahan anak dan peningkatan manajemen kebersihan menstruasi pada remaja di Bone, Sulawesi Selatan. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Tulodo adalah melakukan penelitian pendahuluan dan baseline yang dilakukan di bulan Juli 2019 kemarin. 

Saat pencarian data di lapangan tim Tulodo menemukan bahwa pernikahan pada anak ternyata juga erat hubungannya dengan adanya praktik mahar (Bahasa Bugis: sompa) atau juga dengan uang panai (uang yang diserahkan pihak laki-laki untuk diberikan kepada mempelai perempuan). Selain itu terdapat persepsi di masyarakat bahwa semakin cepat anak menikah, beban orangtua akan lebih ringan, sebagaimana tanggung jawab mengurus anak akan diserahkan ke suami. Selain itu keluarga perempuan juga akan mendapatkan uang panai. Di samping itu, walaupun sudah terdapat hukum yang jelas terkait perkawinan anak di bawah umur, banyak orang tua khususnya yang meminta dispensasi ke Pengadilan Agama agar anaknya dapat dinikahkan.

Tulodo saat ini sedang dalam tahap analisa dari hasil pengumpulan data yang dilakukan bulan Juli kemarin untuk mencari tahu lebih dalam terkait faktor yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan pada anak melalui analisis dari data kuantitatif dan kualitatif yang sudah terkumpul. 

Selain itu, Tulodo juga akan mengadakan kegiatan pengembangan kapasitas dengan para pemangku kepentingan di Bone seperti misalnya pemerintah daerah, sekolah, organisasi keagamaan dan sebagainya.untuk bersama-sama menyusun rencana terkait kegiatan yang tepat yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka pernikahan anak yang terjadi di daerah Bone. Pengembangan kapasitasi ini akan dilakukan menggunakan metode Behaviour Centered Design (BCD), Dengan diharapkan akan membantu dalam menemukan solusi yang tepat sesuai dengan yang dibutuhkan oleh komunitas sasaran intervensi.

A mother and her daughter-Welado,AjangaleMawar dan Ibunya di Welado, Ajangale – Bone, Sulawesi Selatan

Indonesia sendiri sudah berkomitmen untuk mengurangi angka pernikahan anak pada tahun 2030, pemerintah mengatakan bahwa penghapusan pernikahan anak penting terutama dalam mengurangi resiko kesehatan pada remaja perempuan serta melindungi hak asasi manusia serta menurunkan angka kematian ibu. Penelitian yang dilakukan oleh UNICEF dan Tulodo Indonesia diharapkan dapat membantu dalam mengembangkan strategi dan intervensi perubahan perilaku dalam membantu mengeliminasi pernikahan anak dan menggeser norma sosial dan pemikiran masyarakat terkait pernikahan anak.

Leave a Reply

%d bloggers like this: