Temuan Kualitatif Baseline Study JISRA (Joint Initiative for Strategic Religious Action) Indonesia
Joint Initiative for Strategic Religious Action (JISRA) adalah sebuah konsorsium internasional yang fokus pada isu kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Saat ini JISRA sedang menjalankan program mereka di tujuh negara yakni Indonesia, Iraq, Kenya, Ethiopia, Uganda, Mali, dan Nigeria.
Tulodo Indonesia ditunjuk oleh JISRA untuk menjadi pelaksana proyek Baseline Study JISRA yang bertujuan untuk menggali situasi dan konteks kebebasan beragama di Indonesia serta memberikan rekomendasi tentang strategi program dan rencana monitoring dan evaluasi intervensi yang harus dilakukan terkait pengelolaan konflik dan permasalahan kekerasan agama di Indonesia. Sasarannya adalah kelompok anggota masyarakat dan tokoh agama baik dari kalangan dewasa maupun muda, termasuk organisasi atau komunitas agama yang menjadi mitra – mitra JISRA.
Pada tanggal 17-26 November 2021, secara simultan Tulodo Indonesia melaksanakan pengambilan data kuantitatif dan kualitatif. Untuk pengambilan data kualitatif, Tulodo menggunakan dua metode yakni wawancara mendalam dan diskusi kelompok terpusat/Focus Group Discussion (FGD). Wawancara mendalam berfokus kepada perspektif dari aktor keagamaan, sedangkan FGD fokus kepada pandangan masyarakat umum mengenai isu KBB di Indonesia. Adapun topik yang ditanyakan baik di wawancara dan FGD antara lain adalah seputar peran tokoh agama di masyarakat, kesetaraan gender dan inklusivitas, hubungan antar agama di Indonesia, dan kebijakan terkait KBB di Indonesia.
Wawancara mendalam dilakukan dengan melibatkan sepuluh partner lokal JISRA (AMAN Indonesia, Muhammadiyah, Peace Generation, Gusdurian, Fahmina, Mosintuwu, Dian Interfidei, Fatayat NU, Nasyiatul Aisyiyah, dan Impartial), delapan perwakilan pemerintah daerah (perwakilan Kemenag Poso, perwakilan Kemenag Bantul, Perwakilan Kemenag Bandung, perwakilan DP3A Poso, perwakilan DP3A Solo, perwakilan DP3A Bandung) dan empat perwakilan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Salah satu temuan menarik dari hasil wawancara adalah bagaimana setiap narasumber menempatkan perempuan sebagai aktor sentral dalam upaya merawat kerukunan umat beragama di masyarakat. Perempuan dengan sifat mengayomi dan penuh kasih sayang dinilai memiliki potensi besar untuk menjaga dan merawat perdamaian. Berikut ini adalah kutipan dari salah satu narasumber:
“Perempuan sebagai apa ya sosok yang melahirkan kehidupan, maka dengan potensi dari peran ini kita yakin bahwa perempuan sebenarnya punya potensi yang besar untuk menjaga kehidupan itu sendiri. Itu keyakinan kami sehingga kenapa semua program kita Itu kebanyakan jadi melibatkan perempuan sebagai aktor penggeraknya. Itu keyakinan kami jadi apa namanya sifat ngayomi, kasih sayang, terus sensitif, detail itu yang kemudian kita dorong untuk memperkuat perempuan sebagai agen perdamaian”
Selain melakukan wawancara mendalam kepada partner lokal, Pemda, dan organisasi keagamaan. Tulodo juga berupaya untuk mengumpulkan pandangan dari kelompok masyarakat, utamanya pemuda dan perempuan melalui kelompok diskusi terpusat (FGD) yang dilaksanakan di Poso, Jogja, dan Solo. Peserta FGD dikelompokan atau dipisah berdasarkan gender dan umur. Pengelompokan ini dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan antara perspektif perempuan dan lak-laki, serta pemuda dan orang dewasa. FGD di Poso fokus kepada kaum muda (satu FGD laki-laki dan satu FGD perempuan), sedangkan FGD di Jogja dan Solo fokus kepada orang dewasa (satu FGD laki-laki dan satu FGD perempuan). Selain itu, Tulodo juga melaksanakan FGD bersama Kelompok Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Dari pemuda Poso kami memahami bahwa gerakan akar rumput dan kepemudaan memiliki peran krusial dalam upaya menjaga kerukunan beragama. Ruang-ruang pertemuan yang mereka ciptakan melalui kegiatan literasi, kesenian, dan pemberdayaan menjadi sangat penting agar orang-orang dengan latar belakang agama dan keyakinan berbeda dapat saling bertemu dan berdialog sehingga tembok kecurigaan bisa diruntuhkan.
Dari sekian banyak informasi dan hal positif yang diperoleh terkait isu kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), bukan berarti kondisi KBB di Indonesia sepenuhnya baik-baik saja. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Masih ada perempuan-perempuan yang memperoleh diskriminasi bahkan kekerasan yang memanfaatkan dalil agama. Pesan-pesan intoleransi dan radikalisme yang menghasut dan memecah belah masih berseliweran di dunia maya. Ancaman-ancaman yang berpotensi melahirkan perpecahan tetap ada dan selalu siap mengacau. Oleh karena itu, isu KBB harus tetap menjadi perhatian bersama, pesan-pesan toleransi harus diarusutamakan, dan ruang-ruang pertemuan antara umat yang berbeda harus ditingkatkan. Terakhir, mengutip John F Kennedy “Toleransi tidak menunjukan lemahnya iman Anda, melainkan tanda yang menunjukan bahwa Anda mengutuk segala bentuk opresi dan penindasan terhadap orang lain”.